Sejarah Konflik Israel dan Palestina

Sunday, August 5, 2012
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.

Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. 
Sejak Persetujuan Oslo, pemerintah Israel dan Otoritas Palestina (OP) secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.

Keamanan Israel.

Keamanan Palestina.

Hakikat masa depan negara Palestina.

Nasib para pengungsi Palestina.

Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.



Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.

Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.

Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.


Lambang-lambang dari organisasi-organisasi utama Palestina termasuk peta wilayah Israel sekarang, Tepi Barat dan Jalur Gaza. (Sejumlah besar penduduk Palestina maupun Israel sama-sama mengklaim hak atas seluruh wilayah ini).

Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.

Sebuah poster gerakan perdamaian: Bendera Israel dan bendera Palestina dan kata-kata Salaam dalam bahasa Arab dan Shalom dalam bahasa Ibrani. Gambar-gambar serupa telah digunakan oleh sejumlah kelompok yang menganjurkan solusi dua negara dalam konflik ini.

Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini".

Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.

Perselisihan Israel dan Palestina, sekaligus hubungan Indonesia dengan Israel.

Mengunjungi Israel

Pada awal Desember 2007, lima wakil dari lembaga Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, berangkat ke Israel dan menemui presidennya, Shimon Peres. Kunjungan mereka disponsori oleh Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation.

Shimon Peres menyatakan bahwa ia sangat gembira menerima para ulama tersebut, dan ia juga berharap jika lebih banyak orang Indonesia yang mau mengunjungi Israel di bulan Mei 2008 untuk mendoakan damai sambil merayakan ulang tahun Israel yang keenam puluh.

Perwakilan Indonesia di Israel
Perwakilan Indonesia di Israel.

Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Syafiq Mugni berharap kalau masyarakat Muslim Indonesia dapat menjadi lebih toleran, walaupun beliau juga mengakui masih banyak yang menentang demokrasi. Abdul A’la dari NU pun mengakui adanya kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia.

Din Syamsudin dan Hasyim Muzadi yang masing-masing merupakan pemimpin Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, menyampaikan ketidaktahuan mereka akan kepergian anggotanya ke Israel.

Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) dari PDI-P menyuarakan penolakannya terhadap kunjungan tersebut, karena Israel masih menduduki Palestina. Lagipula, bangsa Israel yang terkenal medhit (pelit) tidak akan memberikan bantuan apapun untuk Indonesia, ujarnya.

Kolonialisme Bukan Islam

Pada bulan Desember, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas berujar kalau dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak ada hubungannya dengan agama.

Banyak kalangan yang salah paham mengaitkan dukungan Indonesia kepada Palestina dengan agama.

Ia mengatakan bahwa kedudukan Indonesia yang pro-Palestina memang masalah prinsip, sesuatu yang dinyatakan oleh konstitusi kalau kemerdekaan adalah hak setiap negara yang tidak bisa diganggu gugat, dan maka itu, semua bentuk penjajahan harus dihapuskan.

Dituntun oleh keyakinan ini, Indonesia telah giat mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa lain, seperti Afrika Selatan dan Namibia, ujarnya.

Beliau menyesali keadaan dimana banyak orang mengira dukungan Indonesia untuk Palestina didorong oleh persaudaraan Islam.

Kekhawatiran Hak Asasi Manusia

Di tanggal 24 Januari 2008, sebagai akibat dari pemblokiran daerah Palestina dan penyerangan-penyerangan oleh pasukan Israel, anggota DPR Andreas H Pareira dari PDI-P mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan persuasi terhadap Amerika untuk:

…memaksa Israel agar tidak menggunakan kekerasan terhadap Palestina.

Pareira mengatakan Israel hanya mau mendengarkan Amerika:

Kita tidak bisa menyalahkan Amerika Serikat saja, namun Indonesia bersama dengan negara-negara Muslim lain perlu meyakinkan Amerika Serikat untuk bertindak terhadap Israel, dan bukannya hanya mengutarakan kecaman.

Hajriyanto Y Thohari dari Partai Golkar justru mengatakan Indonesia harus menekan Amerika Serikat untuk segera mengambil sikap terhadap Israel.

Ini sesungguhnya tindakan semena-mena Israel untuk kesekian kalinya. Lalu, quo vadis PBB. Kita semua harus berbuat sesuatu, jika memang kita masih memiliki rasa kemanusiaan dan menganggap dunia ini masih beradab.

0 comments:

Post a Comment