LINDUNGI KARYA ANAK NEGERI
KOMPAS.com -- Mobil jenis sport
utility vehicle hasil rakitan siswa sekolah menengah kejuruan yang kini
menjadi kendaraan dinas Wali Kota Solo Joko Widodo tidak dibuat dalam
sehari. Mobil bermesin 1.500 cc itu hasil kerja sama dan proses belajar
siswa di 33 SMK di seluruh Indonesia sejak 2009.
Mobil rakitan alias rekayasa siswa SMK mendadak naik daun. Seakan
terjadi euforia di masyarakat, para pejabat dan selebriti
berbondong-bondong memesan mobil Esemka. Bahkan, muncul desakan
memproduksi massal dan menjadikan cikal bakal mobil nasional (mobnas).
Proyek mobil dalam negeri bukan hal baru karena pernah berkali-kali
dicoba sejak tahun 1985. Sayangnya, semua proyek terhenti seperti yang
dialami Timor dan Bimantara. Tidak adanya dukungan pemerintah dan
sepinya pasar menjadi penyebab kegagalan mobnas.
Nasib serupa dialami sepeda motor Kanzen, hasil rakitan siswa SMK Negeri
4 Jakarta yang bekerja sama dengan industri. SMK ini pula yang mendapat
tugas dari pemerintah merakit 200 mesin mobil Esemka.
Kepala Sekolah SMK Negeri 4 Jakarta Wahidin Ganef berharap kali ini
pemerintah dan masyarakat serius mendukung dan melindungi produk anak
negeri. Perjuangan untuk memasarkan dan membuat diterima seterusnya oleh
masyarakat akan berat mengingat akan ada pihak-pihak yang merasa
terancam bisnisnya. "Jika semua berkomitmen membuat mobil, pasti jadi.
Pesawat saja bisa kita buat. Ini momen penting. Jangan sampai lewat dan
kandas lagi," kata Wahidin, Selasa (10/1).
SMK itu yakin mampu memproduksi massal mobil Esemka asalkan dikerjakan
bersama-sama dengan semua SMK di Indonesia dan industri meski tidak bisa
secepat produksi pabrik karena keterbatasan teknologi dan fasilitas
peralatan. Produksi di SMK Negeri 4, kata Wahidin, sudah mirip pabrik,
hanya prosesnya lebih sederhana karena disesuaikan dengan kondisi
workshop (bengkel) dan peralatan.
"Kalau mesinnya ada di sekolah, apa pun bisa kami lakukan. Pemerintah
perlu investasi untuk beli peralatan dengan teknologi terbaru. Tidak
perlu investasi banyak karena setiap SMK sudah punya alat," katanya.
Kendala SMK untuk memproduksi massal mobil Esemka, kata guru bidang
Elektronika dan Industri di SMK Negeri 4 Jakarta, Agus Martoyo, hanya
pada ketersediaan ruang produksi dan kecepatan. Apalagi, bengkel sekolah
tidak didesain untuk berfungsi sebagai pabrik. Baginya yang terpenting
adalah membangkitkan semangat siswa untuk menghasilkan sesuatu.
Kerja sama
Produksi mobil secara massal, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh, tidak bisa dilakukan SMK sendirian, perlu kerja sama
dengan BUMN atau swasta. Untuk memproduksi massal mobil Esemka,
Kemdikbud mengajak kerja sama Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Riset dan
Teknologi, serta BPPT. Saat ini mobil Esemka dalam tahap teknis dan
administrasi, termasuk uji teknis kelayakan.
"Untuk mengembangkan produk anak negeri, perlu keteguhan perlindungan
politik dan kebijakan afirmatif. Sayang kalau benih-benih ini tidak
ditangkap dengan baik," kata Nuh.
Menurut Direktur Pembinaan SMK Joko Sutrisno, dari 9.800 SMK yang ada,
2.000 di antaranya siap bekerja sama dengan industri. Untuk perakitan
mobil ada 33 SMK yang siap bermitra asalkan ada kebijakan yang berpihak
pada pengembangan SMK. Kebijakan yang diharapkan, antara lain,
pembebasan pajak impor suku cadang, termasuk impor barang kapital.
Berdasarkan roadmap pemerintah, sistem operasional SMK akan dibuat
seperti industri. Pada industri, tidak semua komponen diproduksi
sendiri, tetapi didistribusikan ke pihak lain, lalu dirakit di pabrik.
Konsep serupa akan diaplikasikan di SMK. Komponen mesin dibuat di banyak
titik SMK, lalu dikumpulkan dan dirakit di SMK integrator.
Bukan pabrik
Meski mampu memproduksi mobil secara massal, Nuh mengingatkan SMK
sebagai institusi pendidikan tetap menjadi tempat belajar dan pencetak
sumber daya manusia yang terampil. SMK bukan pabrik. Untuk meningkatkan
kemampuan siswa, pemerintah mengalokasikan Rp 2,1 triliun bagi seluruh
SMK. Dana itu untuk mengembangkan laboratorium, bengkel, dan pelatihan
guru. Hal itu diharapkan bisa memenuhi kebutuhan mendasar pembelajaran
siswa.
"Kebutuhan alat di SMK tidak pernah selesai karena ilmu dan teknologi
berkembang terus. Yang penting kebutuhan dasar, seperti alat las dan
mesin bubut, untuk jurusan otomotif. Kalau teknik dasar sudah dikuasai,
mudah adaptasi teknologi terbarunya," tutur Nuh.
Senada dengan Nuh, Wahidin menyatakan, SMK memang tidak bisa berfungsi
sebagai pabrik karena SMK tetap menekankan proses pembelajaran. Jika
pabrik bisa menyelesaikan satu mesin utuh dalam hitungan jam karena
dikejar target, siswa SMK membutuhkan waktu tiga hari. Satu mesin yang
minimal terdiri atas 146 komponen dikerjakan oleh tiga siswa. "Fokusnya
tetap pembelajaran. Namun, jika dibutuhkan, SMK siap untuk memproduksi,"
ujarnya. (**)
0 comments:
Post a Comment